Jumat, 16 Mei 2014

Menyikapi Kekerasan Seksual dalam Perspektif Hukum

Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita di media tentang anak-anak atau remaja yang terlibat dan menjadi korban dalam pelecehan seksual atau kekerasan seksual. Tentu, hal ini menjadi kekhawatiran orang tua dan penyelenggara pendidikan. Sebab, kerap terjadi kekerasan atau pelecehan seksual ini yang menjadi korban adalah para siswa yang masih di bawah umur. Ironisnya, korban kekerasan seksual tidak sedikit, bahkan sampai ratusan anak.


Sebagaimana data yang dikumpulkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada periode Januari-Maret lalu, terdapat 379 kasus yang dilaporkan, salah satunya adalah kekarasan seksual yang menimpa siswa TK di Jakarta International School (JIS). Susanto mengatakan bahwa selama 2014, semakin meningkat terutama saat kasus JIS mencuat di media, untuk kasus kekerasan masih menjadi terkendala sendiri karena rata-rata korban merasa hal ini sebagai aib, tapi bagaimanapun kita tetap fasilitasi mereka (VIVAnews, 24/04/2014). Anehnya, kekerasan seksual ini dilakukan oleh orang yang seharusnya menjadi teladan, seperti guru, orang terdekat dan ayahnya sendiri.

Ironisnya lagi, pelaku kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, melainkan anak-anak pun turut berperilaku dewasa. Artinya, anak-anak yang masih di bawah umur sudah berani melakukan tindakan seksual ala orang dewasa, seperti yang terjadi di Karawang, bocah SD melakukan sodomi terhadap 11 temannya (Detik, 10/9/2013), di Jakarta bocah 13 tahun melakukan sodomi terhadap 12 anak (Detik, 18/20/2007) dan di Bandung anak 13 tahun disodomi oleh 4 anak SD (Indosiar).

Kasus ini sungguh menggelitik telinga kita, di satu sisi kedengaran lucu tapi di sisi lain sangat miris sekali. Karena mengingat generasi muda adalah generasi penerus masa depan yang gemilang. Terus bagaimana nasib bangsa kita apabila generasi muda sudah gila seks? Pertanyaan ini seharusnya kita lontarkan kepada banyak pihak yang secara sadar punya tanggung jawab terhadap perlindungan anak bangsa.

Termasuk di dalamnya, keluarga, lingkungan dan negara juga seharusnya menjadi kontrol, tapi nyatanya mereka acuh tak acuh dalam memberikan jaminan keamanan kepada anak-anak. Kehidupan masyarakat yang saat ini diwarnai oleh kehidupan materialistis dan hedonis akan membentuk individu yang hanya mengutamakan terpenuhinya kebutuhan jasmani. Bahkan negara memfasilitasi hal tersebut. Maraknya pornografi dan pornoaksi menjadi bukti bagaimana syahwat dibiarkan menuntut pemuasan. Rendahnya kontrol masyarakat juga membuat banyaknya kasus yang tidak dilaporkan. Akibatnya para pelaku masih bebas berkeliaran dan mengancam keselamatan anak-anak.

Selain itu, ringannya hukuman bagi pelaku kekerasan seksual menjadi bukti tambahan lemahnya jaminan negara atas keamanan anak. Hukuman masih tidak memberikan efek jera. Pelaku tindak pencabulan anak di bawah umur umumnya akan dijerat Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dengan hukuman antara 3 sampai 10 tahun penjara. Sementara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pemerkosaan diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun penjara.

Namun para hakim sangat jarang menjatuhkan hukuman maksimal. Solidaritas Masyarakat Anti Kekerasan (SMAK) mengusulkan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dihukum minimal 20 tahun penjara dan maksimal seumur hidup. Namun hal ini masih diragukan untuk memberi efek jera pada pelaku mengingat penerapan hukum di Indonesia yang masih setengah hati.

Mungkin sudah saatnya pemerintah lebih berani dalam mengambil sikap yang tegas dalam masalah ini, karena ini menyangkut masa depan bangsa. Salah satu langkah mungkin kita harus bercermin pada negara-negara maju. Di mana penerapan pidana terahadap pelaku pelecehan seksual 40 tahun penjara, bahkan ada yang sudah menerapakan hukuman dikebiri. Seperti disampaikan Menteri Sosial (Mensos) Salim Segaf al-Jufri pada 16 Mei 2014. Malah lebih ekstrim yaitu dengan hukuman mati, dengan alasan untuk efek jera.

Namun semua itu kadang hanya berhenti pada wacana saja, tidak ada tindak lanjut yang menjanjikan. Karena berbagai alasan dilontarkan oleh pihak yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) tanpa terlebih dulu mendalami apa yang dimaksud HAM itu. Jika kita lihat dalam UU No 39/1999 salah satu tujuan pendirian lembaga HAM adalah untuk melindungi martabat seseorang. Sedangkan kekerasan seksual merupakan bentuk penganiayaan dan pengambilan martabat.

Dalam masalah ini ada dua hak yang harus disikapi dengan tegas. Pertama, hak untuk hidup. Kedua, hak untuk melindungi martabat. Nah, hak apa yang harus kita prioritaskan untuk menyelesaikannya? Dalam kaidah fiqih disebutkan “menolak kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kebaikan”. Jelas sudah bahwa korban kekerasan seksual yang harus kita dahulukan daripada hak hidup bagi pelakunya. Mungkin ini yang dijadikan patokan untuk melakukan hukuman mati bagi para pelaku kekerasan seksual. Sebab, bila itu tetap dibiarkan maka kekerasan seksual akan semakin meraja lela. Allahu a’lam…


[1] Mahasiswa Ekonomi Syariah Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel. Tulisan ini didiskusikan pada Jumat, 16 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...