Oleh:
Ahmad Halif[1]
Akhir-akhir
ini kita sering mendengar berita di media tentang anak-anak atau remaja yang
terlibat dan menjadi korban dalam pelecehan seksual atau kekerasan seksual.
Tentu, hal ini menjadi kekhawatiran orang tua dan penyelenggara pendidikan.
Sebab, kerap terjadi kekerasan atau pelecehan seksual ini yang menjadi korban
adalah para siswa yang masih di bawah umur. Ironisnya, korban kekerasan seksual
tidak sedikit, bahkan sampai ratusan anak.
Sebagaimana
data yang dikumpulkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada
periode Januari-Maret lalu, terdapat 379 kasus yang dilaporkan, salah satunya
adalah kekarasan seksual yang menimpa siswa TK di Jakarta International
School (JIS). Susanto mengatakan bahwa selama 2014, semakin meningkat
terutama saat kasus JIS mencuat di media, untuk kasus kekerasan masih menjadi
terkendala sendiri karena rata-rata korban merasa hal ini sebagai aib, tapi
bagaimanapun kita tetap fasilitasi mereka (VIVAnews, 24/04/2014). Anehnya,
kekerasan seksual ini dilakukan oleh orang yang seharusnya menjadi teladan,
seperti guru, orang terdekat dan ayahnya sendiri.
Ironisnya
lagi, pelaku kekerasan seksual tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa,
melainkan anak-anak pun turut berperilaku dewasa. Artinya, anak-anak yang masih
di bawah umur sudah berani melakukan tindakan seksual ala orang dewasa, seperti
yang terjadi di Karawang, bocah SD melakukan sodomi terhadap 11 temannya
(Detik, 10/9/2013), di Jakarta bocah 13 tahun melakukan sodomi terhadap 12 anak
(Detik, 18/20/2007) dan di Bandung anak 13 tahun disodomi oleh 4 anak SD
(Indosiar).
Kasus ini
sungguh menggelitik telinga kita, di satu sisi kedengaran lucu tapi di sisi
lain sangat miris sekali. Karena mengingat generasi muda adalah generasi
penerus masa depan yang gemilang. Terus bagaimana nasib bangsa kita apabila
generasi muda sudah gila seks? Pertanyaan ini seharusnya kita lontarkan kepada
banyak pihak yang secara sadar punya tanggung jawab terhadap perlindungan anak
bangsa.
Termasuk di
dalamnya, keluarga, lingkungan dan negara juga seharusnya menjadi kontrol, tapi
nyatanya mereka acuh tak acuh dalam memberikan jaminan keamanan kepada
anak-anak. Kehidupan masyarakat yang saat ini diwarnai oleh kehidupan
materialistis dan hedonis akan membentuk individu yang hanya mengutamakan
terpenuhinya kebutuhan jasmani. Bahkan negara memfasilitasi hal tersebut.
Maraknya pornografi dan pornoaksi menjadi bukti bagaimana syahwat dibiarkan
menuntut pemuasan. Rendahnya kontrol masyarakat juga membuat banyaknya kasus yang
tidak dilaporkan. Akibatnya para pelaku masih bebas berkeliaran dan mengancam
keselamatan anak-anak.
Selain itu,
ringannya hukuman bagi pelaku kekerasan seksual menjadi bukti tambahan lemahnya
jaminan negara atas keamanan anak. Hukuman masih tidak memberikan efek jera.
Pelaku tindak pencabulan anak di bawah umur umumnya akan dijerat Pasal 81 dan
82 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dengan hukuman
antara 3 sampai 10 tahun penjara. Sementara dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), tindak pemerkosaan diancam hukuman penjara maksimal 15 tahun
penjara.
Namun para
hakim sangat jarang menjatuhkan hukuman maksimal. Solidaritas Masyarakat Anti
Kekerasan (SMAK) mengusulkan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dihukum
minimal 20 tahun penjara dan maksimal seumur hidup. Namun hal ini masih
diragukan untuk memberi efek jera pada pelaku mengingat penerapan hukum di
Indonesia yang masih setengah hati.
Mungkin sudah
saatnya pemerintah lebih berani dalam mengambil sikap yang tegas dalam masalah
ini, karena ini menyangkut masa depan bangsa. Salah satu langkah mungkin kita
harus bercermin pada negara-negara maju. Di mana penerapan pidana terahadap
pelaku pelecehan seksual 40 tahun penjara, bahkan ada yang sudah menerapakan
hukuman dikebiri. Seperti disampaikan Menteri Sosial (Mensos) Salim Segaf
al-Jufri pada 16 Mei 2014. Malah lebih ekstrim yaitu dengan hukuman mati,
dengan alasan untuk efek jera.
Namun semua
itu kadang hanya berhenti pada wacana saja, tidak ada tindak lanjut yang
menjanjikan. Karena berbagai alasan dilontarkan oleh pihak yang mengatasnamakan
Hak Asasi Manusia (HAM) tanpa terlebih dulu mendalami apa yang dimaksud HAM
itu. Jika kita lihat dalam UU No 39/1999 salah satu tujuan pendirian lembaga
HAM adalah untuk melindungi martabat seseorang. Sedangkan kekerasan seksual
merupakan bentuk penganiayaan dan pengambilan martabat.
Dalam masalah
ini ada dua hak yang harus disikapi dengan tegas. Pertama, hak untuk hidup.
Kedua, hak untuk melindungi martabat. Nah, hak apa yang harus kita prioritaskan
untuk menyelesaikannya? Dalam kaidah fiqih disebutkan “menolak kerusakan harus
didahulukan daripada mengambil kebaikan”. Jelas sudah bahwa korban kekerasan
seksual yang harus kita dahulukan daripada hak hidup bagi pelakunya. Mungkin
ini yang dijadikan patokan untuk melakukan hukuman mati bagi para pelaku
kekerasan seksual. Sebab, bila itu tetap dibiarkan maka kekerasan seksual akan
semakin meraja lela. Allahu a’lam…
[1]
Mahasiswa Ekonomi Syariah Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel. Tulisan ini
didiskusikan pada Jumat, 16 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...