Selasa, 13 Mei 2014

Menghidupkan Budaya Baca dan Tradisi Literer

Gagasan Abdul Waid (pada kolom Di Balik Buku Jawa Pos: Minggu, 27 April 2014) “Surabaya Setelah Socrates Award” sangat menarik dan perlu mendapat dukungan dan acungan jempol. Surabaya sebagai kota yang terkenal dengan berbagai julukan, sebagai kota industri, kota tersbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta, kota pahlawan, dan hingga kota prostitusi, ternyata mampu memenangkan Socrates Award 2014 dari Europe Business Assembly (EBA), dengan memenuhi kriteria, bahwa tata pemerintahan, pendidikan, ilmu pengatahuan dan teknologi, budaya dan seni, ekonomi dan bisnis, serta pengobatan dan apotek terkelola dengan baik.


Dalam gagasannya tentang Surabaya sebagai peraih the future city, Waid menyebut bahwa rumah baca (perpus) yang terdapat di Surabaya mencapai 800 perpustakaan, dalam wacana perpus di Surabaya akan digenapkan menjadi seribu perpustakaan. Hal ini menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi kota Surabaya, Jawa Timur, dan umumnya untuk Indonesia. Dari ulasan tersebut, Waid cukup bangga dan apresiatif atas penghargaan Socrates Award 2014 yang diraih oleh kota Surabaya.

Namun, ada sebuah kekhawatiran dan kegelisahan yang dialami olehnya. Satu di antaranya yaitu, meski kota Surabaya meraih penghargaan Socrates Award 2014, hal tersebut masih belum menjamin masyarakat Surabaya bergelut dengan dunia baca dan literer yang penuh dengan buku sebagai cakrawala berpikir kreatif dan kritis untuk menatap dan membangun Surabaya sebagai the future city.

Walaupun jumlah perpustakaan mencapai 800, perpus di Surabaya masih dipandang sebagai bangunan tua yang angker dan menakutkan. Sehingga orang-orang seakan was-was dan enggan untuk berlabuh dan masuk ke dalam bangunan tersebut. Itulah keadaan perpustakaan di Surabaya kata Waid. Mungkin keadaan tersebut bukan hanya terjadi di Surabaya saja, tapi di berbagai kota lainnya di Indonesia bernasib sama akibat gerusan dunia modern yang menjadikan masyarakat cenderung keracunan teknologi yang memanjakan.

Di tengah hiruk-pikuk kemodernan dan kemajuan teknologi, masyarakat lupa untuk membaca dan membudayakannya bagi generasi berikutnya, meski rumah baca dan toko buku memenuhi seluruh ruangan kota. Hal tersebut berbeda dengan kota-kota di Jawa Tengah, seperti Semarang, Solo, dan Yogyakarta yang masih tetap konsisten membudayakan tradisi baca buku dan diskusi literasi untuk kemajuan bangsa dan peradaban. Kesadaran pemerintah dan masyarakat harus mampu tancap gas untuk menjadikan perpustakan di seluruh Indonesia, utamanya di Surabaya sebagai istana yang nyenyak, menarik, indah, dan penuh kajian keilmuan.

Tradisi Literer
Imam al-Ghazali pernah mengatakan bahwa jika kita bukan anak raja, bukan anak ningrat, dan konglomerat, maka jadilah penulis. Senada pula dengan ungkapan fenomenal Pramoedya Ananta Toer yang menyatakan bahwa dengan membaca, kita akan kenal dunia. Dengan menulis, kita akan dikenal oleh dunia. Pendapat dua tokoh tersebut menyiratkan bahwa dengan menulis atau membaca akan menjadikan kita lebih dari yang lain. Sudah banyak tokoh-tokoh dengan budaya literernya mampu menorehkan sejarah kehidupan umat manusia dan memberikan kilasan tentang dunia yang lain. Misalkan tokoh di Indonesia, seperti R.A. Kartini, Tan Malaka, Ki Hajar Dewantara, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Salim Said, dan tokoh-tokoh besar lainnya hidup dengan budaya literer yang tinggi.

Namun, hal tersebut sedikit berseberangan dengan pendapat Sokrates dalam karya Plato yang menyatakan bahwa tulisan (budaya literer) bisa menghancurkan daya ingat. Orang-orang yang menggunakan tulisan menjadi mudah lupa, mengandalkan sumber luar untuk apa yang tidak mereka miliki dalam sumber internal mereka. Tulisan melemahkan pikiran. Selain itu, kalkulator juga akan melemahkan pikiran (Walter J. Ong, 2013:119).

Memang dalam sejarah kelisanan dan keaksraan yang diungkap oleh Walter J. Ong ini tidak mulus, lantaran Plato yang kontra dengan masyarakat Yunani yang menginternalisasi tulisan sebagai budaya hidupnya. Secara logika, budaya tulis memang menjadi racun pikiran agar mati perlahan, kejeniusan dan ketajaman dalam berpikir akan sirna dan larut dalam tulisan.

Padahal sejatinya Plato maupun Sokrates tak akan bisa berpikir kritis dan memiliki kekuatan pikiran dengan nalar yang tinggi tanpa membaca (karya tulisan) dan buku-buku yang ada di perpus pada masanya. Pada saat ini, antara pikiran dalam budaya lisan dan tulisan sudah mulai imbang dengan kesadaran masyarakat untuk mengikuti arus zaman yang terus mengalir agar terus berpikir efektif, kreatif, dan kritis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Betapa pentingnya antara budaya literer dan tradisi baca buku yang ada di perpustakaan-perpusatakaan bagi generasi masa depan bangsa Indonesia untuk digerakkan.

Kota Surabaya yang menjadi bagian tampuk pemerintahan Indonesia dengan prestasi Socrates Award-nya, harus mampu menghidupkan budaya baca, diskusi, dan literer di kalangan masyarakat dan pemudanya. Yang mana hal tersebut agar menjadi sebuah paradigma keilmuan bagi kota-kota lainnya yang ada di seluruh Nusantara Indonesia. Bukan hanya penghargaan belaka yang diperoleh Surabaya, namun ada prestasi yang jelas mengarah pada the future city.

Pemerintah dengan dukungan masyarakat penuh harus mampu menggerakkan tradisi baca dan budaya literer dengan memberikan layanan murah percetakan, harga kertas, ruang diskusi umum, dan surat kabar cuma-cuma bagi penduduknya sebagaimana di negera-negara maju. Mengadakan berbagai even dan kompetisi literer, yang mengangkat budaya daerah yang ada. Ketika literer menjadi tradisi yang mengakar kuat, maka membaca akan menjadi fondasi tangguh. Dengan begitu, Surabaya berprestasi untuk Indonesia tidak akan sia-sia dengan glamour kehidupan yang serba modern ini untuk menatap masa depan yang lebih maju dan berperadaban. Semoga!


[1] Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan ini didiskusikan pada Jumat, 9 Mei 2014 di Frontage Road, Jl. A. Yani 117 Surabaya

1 komentar:

  1. Saya kira kita harus kembali kepada filosofis apa itu perpustakaan. Dizaman dahulu, perpustakaan menjadi "mesin searching" akan sejuta masalah masyarakat. Saat ini mesin pemecah masalah tersebut telah beralih kepada masin-mesin besar bernama "Server Internet". Masalah minat baca saya kita bukan menjadi fokus utama, masyarakat kita adalah masyarakat yang benar-benar penasaran akan hal-hal baru. HAl tersebut bisa dilihat dari tingginya tingkat pembelian HP merk terbaru dls.

    Maka jika kita ingin masyarakat membaca literatur yang baik, alih-alih merevitalisasi perpustakaan, mungkin sumber daya tersebut bisa dialikan ke dunia maya. Dan kalau-pun perpustakaan harus direvitaliasasi, unsur dunia maya tidak bisa dilepaskan darinya.

    Maka saya berpendapat bahwa sudah seharusnya pemerintah mulai melirik Digilib sebagai sarana utama membaca masyarakat, kita dapati anak SD saja sudah memegang HP Android. Maka tidak menutup kemungkinan anak SD dapat mengakhses perpustakaan digital. Saat ini perpustakaan digital sendiri masih minim literatur. Maka pemerintah dapat berinisiatif untuk mulai melakukan penerjemahan literatur buku kedalam digital.

    BalasHapus

Terimaksih telah sudi berkomentar...