Jumat, 13 Juni 2014

Jendela Sejarah; Pengantar Pengingat Lupa


Kata pepatah:
“Manusia, baik pria atau wanita, dibentuk oleh zaman mereka”.

Saya tergugah, sekaligus merasa dungu. Juga kaget, saat Rizal Mumazziq Zionis -Narasumber IB beberapa waktu lalu- melontarkan pertanyaan bersifat menyentil peserta diskusi, ”siapa yang bisa bercerita tentang Sunan Ampel?”. Sontak semua terdiam, kikuk, tanpa suara. Dengan sedikit memancing, Rizal menoleh ke arah kami seakan memaksa salah satu ngacung menjawab pertanyaan itu. Tak dinyana, semua peserta diskusi tak mampu menjawab. Entah karena malu, ragu, atau benar-benar tak tahu, wallahu a’lam.
“Kita sebagai generasi penerus merasa bangga dengan modernisasi, westernisasi, globalisasi, atau sasi-sasi lainnya, tapi tak malu untuk (merasa) tak tahu kalau kita punya sejarah peradaban bangsa yang besar dan maju”. Begitu kira-kira ucapannya menutup kegeraman.


Sepulang diskusi saya berpikir keras, bahwa sebenarnya apa yang disampaikan Rizal adalah semacam disease (demam) kelupaan bagi kalangan muda kini, saat merdeka dirundung tua. Dan kita masih belum mampu jadi perasa yang baik. Mungkin penyakit ini sedikit kita mafhum, melihat ratusan tahun penjajahan terhadap bangsa telah dimulai dengan pelbagai pembodohan massal yang menyakitkan. Saat saya check kembali buku-buku yang mungkin sinergis dengan sangkaan itu, saya menemukan fakta lumayan miris; Pada Januari 1808 setelah kedatangan Daendels, Nicolaus Engelhard (1761-1831), bekas pejabat senior VOC menyarankan agar pemerintah jajahan mempekerjakan orang-orang suci dan petapa untuk membuat ramalan-ramalan yang menguntungkan pihak Belanda sekaligus menyembunyikan kelemahannya. Dari sini kita sudah kalah telak.!!

Peter Carey, lahir 30 April 1948, di Yangon, Burma (kini Myanmar), pakar sejarah kelas berat, seperti setuju dengan apa yang ada di benak Rizal dan mungkin sebagian kecil orang Indonesia lainnya. Ia menulis, “istilah Jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah) yang diucapkan Soekarno kini terdengar lebih benar dari sebelumnya, tanpa cinta dan penghargaan pada sejarah mereka sendiri, Indonesia akan terpecah dan orang-orang Indonesia akan hidup terkutuk selamanya di pinggiran dunia yang mengglobal tanpa tahu siapa diri mereka sebenarnya dan akan ke mana mereka pergi”. Bahkan, McKinsey Global Institut (2012), dengan agak menyindir merilis ”benar, yakni bahwa Indonesia akan bergerak menjadi kekuatan ekonomi yang ketujuh di dunia pada 2030, maka ia hanya akan menjadi kapal yang berlayar tanpa kompas”.

Tapi saya rasa kita belum terlambat, kita masih bisa ‘merampas’ kata-kata Jan Pieterzoon Coen (juga Jendral VOC) untuk tersenyum, ”Despereert niet, want God is met ons, (Janganlah putus asa, karena Tuhan bersama kita)”

Lalu apa yang harus diperbuat? duduk termangu berhari-hari memandang dagelan politik di depan TV sambil mengumpat?, atau mesam-mesem sendiri di depan tembok maya warnet pinggir warung?. Saya rasa jangan, mari selingi dengan membuka kembali hamparan sabana sejarah kemegahan Majapahit yang tergulung karpet jajahan, Menggiatkan diskusi dan refleksi untuk mencatat dan menulis hal penting di sekitar. Atau luangkan waktu berburu warisan karya-karya (tulisan, bukan pusaka) luhur para Romo bangsa yang nyaris hancur jadi debu!!, oh Indonesia. Apa pernah kita bayangkan, sebagian besar orang Indonesia kini hidup dalam kekosongan historiografi; mereka lebih akrab dengan budaya populer dari Barat dibanding warisan budaya mereka yang unik. Ketakutan saya kita terperanjat pada wejangan George Santayana, “mereka yang gagal mengambil pelajaran dari sejarah dipastikan akan mengulang pengalaman sejarah itu”. George Bernard Shaw, orang Irlandia sekaligus dramawan itu melengkapi, “manusia adalah mahluk unik dan agak aneh. Sekalipun sejarah selalu berulang, manusia sangat sulit, bahkan tidak mampu, untuk tidak mengulangi sejarah yang buruk”.

Karena baca sejarah saya jadi tahu, bahwa Diponegoro (1785-1855), pelopor perang Jawa Modern yang Ibunya dari Pamekasan Madura ternyata anak buyut dari Pangeran Haji Sulaeman alias Kiai Suleiman Bekel Jamus. Putra tertua Sultan Abdul Kahir I, Raja pertama Kesultanan Bima, Nusa Tenggara Barat. 

Sekali lagi, ini hanya pengantar mengingat lupa.

Daftar acuan:
Peter Carey: Riwayat Pangeran Diponegoro, Amien Rais: Selamatkan Indonesia, Dzul Amirul Haq: Pangeran Bima di tanah Rantau. Juga Toni Reid: Indonesia dan dunia sesudah 66 tahun.


[1] Alumnus Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan ini didiskusikan di IBI pada Jumat, 13 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...