Oleh:
Libasut Taqwa[1]
Kata pepatah:
“Manusia, baik pria atau wanita, dibentuk oleh zaman mereka”.
Saya
tergugah, sekaligus merasa dungu. Juga kaget, saat Rizal Mumazziq Zionis -Narasumber IB beberapa
waktu lalu- melontarkan pertanyaan bersifat menyentil peserta diskusi, ”siapa yang bisa
bercerita tentang Sunan Ampel?”. Sontak semua terdiam, kikuk, tanpa suara.
Dengan sedikit memancing, Rizal menoleh ke arah kami seakan memaksa salah satu ngacung menjawab pertanyaan itu. Tak
dinyana, semua peserta diskusi tak mampu menjawab. Entah karena malu, ragu,
atau benar-benar tak tahu, wallahu a’lam.
“Kita
sebagai generasi penerus merasa bangga dengan modernisasi, westernisasi,
globalisasi, atau sasi-sasi lainnya, tapi tak malu untuk (merasa) tak tahu
kalau kita punya sejarah peradaban bangsa yang besar dan maju”. Begitu
kira-kira ucapannya menutup kegeraman.
Sepulang
diskusi saya berpikir keras, bahwa sebenarnya apa yang disampaikan Rizal adalah
semacam disease (demam) kelupaan bagi
kalangan muda kini, saat merdeka dirundung tua. Dan kita masih belum mampu jadi
perasa yang baik. Mungkin penyakit ini sedikit kita mafhum, melihat ratusan
tahun penjajahan terhadap bangsa telah dimulai dengan pelbagai pembodohan
massal yang menyakitkan. Saat saya check
kembali buku-buku yang mungkin sinergis dengan sangkaan itu, saya menemukan
fakta lumayan miris; Pada Januari 1808 setelah kedatangan Daendels, Nicolaus
Engelhard (1761-1831), bekas pejabat senior VOC menyarankan agar pemerintah
jajahan mempekerjakan orang-orang suci dan petapa untuk membuat ramalan-ramalan
yang menguntungkan pihak Belanda sekaligus menyembunyikan kelemahannya. Dari
sini kita sudah kalah telak.!!
Peter
Carey, lahir 30 April 1948, di Yangon, Burma (kini Myanmar), pakar sejarah
kelas berat, seperti setuju dengan apa yang ada di benak Rizal dan mungkin
sebagian kecil orang Indonesia lainnya. Ia menulis, “istilah Jasmerah (jangan
sekali-kali melupakan sejarah) yang diucapkan Soekarno kini terdengar lebih
benar dari sebelumnya, tanpa cinta dan penghargaan pada sejarah mereka sendiri,
Indonesia akan terpecah dan orang-orang Indonesia akan hidup terkutuk selamanya
di pinggiran dunia yang mengglobal tanpa tahu siapa diri mereka sebenarnya dan
akan ke mana mereka pergi”. Bahkan, McKinsey Global Institut (2012), dengan
agak menyindir merilis ”benar, yakni bahwa Indonesia akan bergerak menjadi
kekuatan ekonomi yang ketujuh di dunia pada 2030, maka ia hanya akan menjadi
kapal yang berlayar tanpa kompas”.
Tapi
saya rasa kita belum terlambat, kita masih bisa ‘merampas’ kata-kata Jan
Pieterzoon Coen (juga Jendral VOC) untuk tersenyum, ”Despereert niet, want
God is met ons, (Janganlah putus asa, karena Tuhan bersama kita)”.
Lalu
apa yang harus diperbuat? duduk termangu berhari-hari memandang dagelan politik
di depan TV
sambil mengumpat?, atau mesam-mesem sendiri di depan tembok maya
warnet pinggir warung?. Saya rasa jangan, mari selingi dengan membuka kembali
hamparan sabana sejarah kemegahan Majapahit yang tergulung karpet jajahan,
Menggiatkan diskusi dan refleksi untuk mencatat dan menulis hal penting di sekitar.
Atau luangkan waktu berburu warisan karya-karya (tulisan, bukan pusaka) luhur
para Romo bangsa yang nyaris hancur
jadi debu!!, oh Indonesia. Apa pernah kita bayangkan, sebagian besar orang
Indonesia kini hidup dalam kekosongan historiografi; mereka lebih akrab dengan
budaya populer dari Barat dibanding warisan budaya mereka yang unik. Ketakutan
saya kita terperanjat pada wejangan George Santayana, “mereka yang gagal
mengambil pelajaran dari sejarah dipastikan akan mengulang pengalaman sejarah
itu”. George Bernard Shaw, orang Irlandia sekaligus dramawan itu
melengkapi, “manusia adalah mahluk unik dan agak aneh. Sekalipun sejarah
selalu berulang, manusia sangat sulit, bahkan tidak mampu, untuk tidak
mengulangi sejarah yang buruk”.
Karena
baca sejarah saya jadi tahu, bahwa Diponegoro (1785-1855), pelopor perang Jawa
Modern yang Ibunya dari Pamekasan Madura ternyata anak buyut dari Pangeran Haji
Sulaeman alias Kiai Suleiman Bekel Jamus. Putra tertua Sultan Abdul Kahir I,
Raja pertama Kesultanan Bima, Nusa Tenggara Barat.
Sekali
lagi, ini hanya pengantar mengingat lupa.
Daftar acuan:
Peter Carey: Riwayat Pangeran Diponegoro, Amien Rais:
Selamatkan Indonesia, Dzul Amirul Haq: Pangeran Bima di tanah Rantau. Juga Toni
Reid: Indonesia dan dunia sesudah 66 tahun.
[1] Alumnus Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya. Tulisan ini didiskusikan di IBI pada Jumat,
13 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...