Djoko pitoenoe
Oleh:
Libasut Taqwa
Seringkali saya mengkhayal, bagaimana
laku sistem pembelajaran di bilik-bilik perkuliahan Universitas atau perguruan
tinggi nomor wahid dunia. Model perdebatan mahasiswanya, interaksi antara
dosen-mahasiswa di kelas, hingga perkara remeh-temeh seperti lelucon, atau
sentimen kepemudaan. Khayalan itu menjejal jauh dan terkadang di luar batas
imaji itu sendiri. Ini saya sadari karena saya hanya mampu –sementara waktu-
menempuh studi di kelas 300 dunia. Tak pula saya terlalu berharap tinggi, toh
hidup punya caranya sendiri.
Tapi setidaknya itu telah saya
rasakan kini. Walaupun hanya dalam bentuk replika, tapi prototype-nya
serupa, ibarat asli tapi palsu, atau kita sering sebut kw-1. Baiklah, saya akan
mulai mengurut pengalaman ini. Di sebuah kelas, biasanya kami sebut The
Religion and Ideology in Middle East, pengajar bertubuh gempal terlihat
lancar berbahasa Ibrani. Langgamnya tepat, dengan presisi ucapan sempurna. Hal
ini wajar, karena ia dulu mondok di Yeshiva, Pondok pesantren-nya Yahudi. Jangan tanya
bahasa Arab, ia lama di Tambakberas. Masih kurang? Pria ini lulusan al-Azhar di
Mesir itu. Jadi mungkin Arab-nya mirip seperti kefasihan sahabat saya Bung Ahmad Maududi
di Surabaya kalau bicara. Masih kurang juga? Untuk tahu saja, kalau pria dengan
tinggi sekitar 160 senti ini adalah penggondol MAJS (Master of Jewish
Studies) dari Harvard University, tempat belajar yang diinisiasi oleh
beberapa jenius songong –saking pintarnya- dari Cambridge. Saya tak habis pikir,
orang macam apa ini!. kulitnya coklat sawo menunjukkan ia
benar orang Indonesia. Logatnya yang tebal dan berat menandakan si gempal ini
orang Jawa, Khas. Walau pakai pengantar Inggris, medhok-nya kental. Sering dalam mengajar ia asyik sendiri sebagai
selingan, karena mungkin tahu, tak banyak dari kami yang mengerti alur pikirnya.
Dari perawakan khas Indonesia ini,
tak ada yang spesial sampai akhirnya ujian membuyarkan stereotipe saya. “we will disscuss it
tomorrow!”
perintahnya ketika memberikan tugas paper sejarah dan perkembangan
Yahudi yang akan dipresentasikan di kelas oleh masing-masing mahasiswa. Singkat
cerita, semua mahasiswa dengan terpaksa atau sukarela harus mempresentasikannya
di kelas. Dan apa yang terjadi? Disinilah model pembelajaran terbaru yang saya
alami. Siswa diberikan ruang waktu tak terbatas untuk presentasi. Setelah itu,
si gempal –pengajar/dosen- mulai mencecar berkali-kali dengan pertanyaan demi
pertanyaan. Saat itu, setiap detik adalah penantian menyakitkan. sekejap pertanyaan
berubah menjadi debat, dan perdebatan terkonvensi menjadi pertentangan kusir
tiada akhir. “what the hell is going on here?”, dosen ini tidak mau
kalah, mengacungkan jari dengan menghantam palu godam pertanyaan menusuk dengan
tiga bahasa. Jual-beli pertanyaan pun tersaji bak bola ping-pong. Apakah ini diskusi? Tidak saudara, ini pertarungan
menang-kalah, dan anda tahu siapa pemenangnya? lagu lama, pak Dosen. Coba
bayangkan, paper yang dibuat dengan susah payah berhari-hari dilecehkan
dan didebat sepihak di depan umum sambil tertawa! Tak ayal, raut merah menyolok
menghiasi wajah mahasiswa, “ini orang mau ngajak berantem kali ya?” sahut teman
saya yang sedari tadi tersudut seperti kalah perang. Yang saya sesalkan, tak
tersedia bendera putih bagi kami untuk menyerah. Perlawanan menjadi aus, kami
kalah, tak ada senjata yang tersisa.
Tak selesai di situ, Devide et
impera ala penjajah juga ia gunakan. Sejengkal pertarungan berubah menjadi
perang saudara antar mahasiswa. Aaah,, ide-ide bersliweran ke mana-mana, tak tentu arah.
Saya yang dari awal pro Israel dibantai habis ashabul filistin bergaya
Arab. Kapal oleng kapten! Kami compang-camping.
Tapi menurut saya itulah atmosfer
real dari sebuah pencarian ilmu, dari pengalaman demi pengalaman tersebut,
kadang pendirian saya tergugat, rasionalitas saya terganggu, dan konstruk pikir
saya berubah. Hingga akhirnya saya sadar, segala hal harus benar-benar
dipertanggungjawabkan, dan kredibilitas personal sudah tentu mesti dikedepankan. Usut punya
usut, ternyata model seperti inilah yang ia terima saat di Harvard, tempat para
peraih nobel itu sekolah. Akhir cerita, ia tersenyum simpul atas
“kemenangannya” sambil mengakui pertahanan kami yang lumayan. “saya kasih A”,
katanya menghibur para “mujahid” yang terpojok. Di sisi lain, para “pejuang”
kalahan tadi sadar, bahwa du chocs des
idees jaillit la lumiere, dari benturan berbagai opini akan muncul sebuah
kebenaran. Atau kata orang Inggris, from the shock of ideas springs forth
light. Terimakasih, cerita ini bersambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...