Oleh:
Marlaf Sucipto
Indonesia
Belajar Institute (IBI) pada Jumat (10/4) berdiskusi tentang “Islam dan
Kebudayaan Nusantara”. Menghadirkan Ahmad Siddiq sebagai pembicara utama.
Tulisan ini lahir karena Cak Siddiq—sapaan akrab Ahmad Siddiq, tidak
menyediakan tulisan dari sekian gagasannya di forum diskusi yang biasa dihelat
setiap minggu ini.
Cak Siddiq
memulai diskusi dengan menjelaskan cikal-bakal lahirnya Piagam Madinah di
Yastrib yang pernah diinisiasi oleh Muhammad sebagai Rosulallah—utusan
Allah/Tuhan. Piagam Madinah, sebagaimana dijelaskan Cak Siddiq, adalah sebuah
kesepakatan yang merangkul keberagaman saat itu, bukan memaksa keseragaman.
Piagam Madinah memuat semacam perlindungan atas golongan minoritas dalam mengerjakan
hal-hal yang diyakini baik, benar, dan indah. Piagam Madinah semacam deklarasi
untuk hidup damai, tentram, berprikemanusiaan, berprikeadilan di tengah
keragaman kultur, budaya, agama, dan etnis waktu itu. Piagam Madinah
mencerminkan terciptanya masyarakat madani; rukun, tentram, sejahtera di bawah
kepemimpinan Muhammad sebagai khalifah.
Kemudian,
setelah Cak Siddiq menjelaskan panjang lebar tentang piagam Madinah, dia
mencoba mengulas bagaimana Islam berkembang di Nusantara. Proses penyebaran
Islam di Nusantara, jamak kita tahu tidak mengunakan model ekspansi sebagaimana
yang terjadi di Eropa. Saat Islam dibawa oleh para pedagang, sebagaimana
dijelaskan dalam buku sejarah Islam yang dijadikan materi ajar saat masih
sekolah MTS—setara SMP, saat itu mengalami kesulitan. Mengapa? Karena struktur
masyarakat Nusantara yang lebih dahulu menganut agama Hindu maupun Budha, telah
mengklasifikasi manusia menjadi tujuh kelas—selengkapnya baca tulisan saya
“Mengenali Mojopahit; Nenek Moyang Bangsa Indonesia.” Sedangkan pedagang, dalam
stratifikasi orang Nusantara, berada di urutan ke empat; Sudra, di mana, orang
yang masuk ke dalam kelas ini, tidak diperkenankan bicara agama. Karena
masyarakat Nusantara meyakini, agama hanya boleh disampaikan oleh manusia yang
masuk kelas utama—kaum Brahmana. Bila agama di-dakwah-kan oleh selain kelas
utama, yang jelas-jelas tidak berkompeten dalam hal agama, maka agama akan
rusak. Apalagi bila agama dibicarakan oleh orang kelas Sudra, ia diyakini hanya
akan memperjualbelikan agama.
Nah,
penyebaran agama Islam melalui para pedagang, tidak berhasil di Nusantara. Yang
berhasil kemudian, tatkala agama disebarkan menggunakan pendekatan
kebudayaan—akulturasi budaya oleh orang yang biasa kita kenal dengan sebutan
Wali Songo. Wali Songo menyebarkan Islam, tidak dengan berdagang, tapi dengan
pendekatan kebudayaan. Ia membaur dengan masyarakat, masuk dalam
tradisi-tradisi masyarakat Nusantara yang esensinya mengandung nilai-nilai
ajaran Hindu dan Budha. Pelan tapi pasti, Wali Songgo mulai menggeser
nilai-nilai ke-Hindu-an dan ke-Budha-an dengan nilai-nilai ke-Islam-an, tanpa
merusak tradisi yang telah berjalan di masyarakat. Maka tidak heran bila
kolenang gending gamelan masuk masjid, peringatan lahir dan kematian yang
krangkanya berbasis budaya sedangkan isinya memuat nilai-nilai agama Islam.
Mengutip
pendapatnya Azyumardi Azra dalam buku “Reposisi Hubungan Agama dan
Negara” (2002: h. 116) yang mengklasifikasi Islam Politik dan Islam Kebudayaan.
Di mana, Islam politik menghendaki formalisasi syariah Islamiah/Daulah
Islamiah. Sedangkan Islam kebudayaan, memperjuangkan nilai-nilai Islam itu
menjadi ruh atas semua tindak-tanduk masyarakat dalam berbangsa dan Negara.
Maka, opsi yang ke dua ini lah sebenarnya, yang menurut saya patut untuk terus
diperjuangkan dan dilestarikan dalam khazanah ke-Islam-an di Indonesia kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...