Jumat, 10 April 2015

Islam dan Kebudayaan Nusantara

Oleh: Marlaf Sucipto
Indonesia Belajar Institute (IBI) pada Jumat (10/4) berdiskusi tentang “Islam dan Kebudayaan Nusantara”. Menghadirkan Ahmad Siddiq sebagai pembicara utama. Tulisan ini lahir karena Cak Siddiq—sapaan akrab Ahmad Siddiq, tidak menyediakan tulisan dari sekian gagasannya di forum diskusi yang biasa dihelat setiap minggu ini.

Cak Siddiq memulai diskusi dengan menjelaskan cikal-bakal lahirnya Piagam Madinah di Yastrib yang pernah diinisiasi oleh Muhammad sebagai Rosulallah—utusan Allah/Tuhan. Piagam Madinah, sebagaimana dijelaskan Cak Siddiq, adalah sebuah kesepakatan yang merangkul keberagaman saat itu, bukan memaksa keseragaman. Piagam Madinah memuat semacam perlindungan atas golongan minoritas dalam mengerjakan hal-hal yang diyakini baik, benar, dan indah. Piagam Madinah semacam deklarasi untuk hidup damai, tentram, berprikemanusiaan, berprikeadilan di tengah keragaman kultur, budaya, agama, dan etnis waktu itu. Piagam Madinah mencerminkan terciptanya masyarakat madani; rukun, tentram, sejahtera di bawah kepemimpinan Muhammad sebagai khalifah.

 Kemudian, setelah Cak Siddiq menjelaskan panjang lebar tentang piagam Madinah, dia mencoba mengulas bagaimana Islam berkembang di Nusantara. Proses penyebaran Islam di Nusantara, jamak kita tahu tidak mengunakan model ekspansi sebagaimana yang terjadi di Eropa. Saat Islam dibawa oleh para pedagang, sebagaimana dijelaskan dalam buku sejarah Islam yang dijadikan materi ajar saat masih sekolah MTS—setara SMP, saat itu mengalami kesulitan. Mengapa? Karena struktur masyarakat Nusantara yang lebih dahulu menganut agama Hindu maupun Budha, telah mengklasifikasi manusia menjadi tujuh kelas—selengkapnya baca tulisan saya “Mengenali Mojopahit; Nenek Moyang Bangsa Indonesia.” Sedangkan pedagang, dalam stratifikasi orang Nusantara, berada di urutan ke empat; Sudra, di mana, orang yang masuk ke dalam kelas ini, tidak diperkenankan bicara agama. Karena masyarakat Nusantara meyakini, agama hanya boleh disampaikan oleh manusia yang masuk kelas utama—kaum Brahmana. Bila agama di-dakwah-kan oleh selain kelas utama, yang jelas-jelas tidak berkompeten dalam hal agama, maka agama akan rusak. Apalagi bila agama dibicarakan oleh orang kelas Sudra, ia diyakini hanya akan memperjualbelikan agama.

Nah, penyebaran agama Islam melalui para pedagang, tidak berhasil di Nusantara. Yang berhasil kemudian, tatkala agama disebarkan menggunakan pendekatan kebudayaan—akulturasi budaya oleh orang yang biasa kita kenal dengan sebutan Wali Songo. Wali Songo menyebarkan Islam, tidak dengan berdagang, tapi dengan pendekatan kebudayaan. Ia membaur dengan masyarakat, masuk dalam tradisi-tradisi masyarakat Nusantara yang esensinya mengandung nilai-nilai ajaran Hindu dan Budha. Pelan tapi pasti, Wali Songgo mulai menggeser nilai-nilai ke-Hindu-an dan ke-Budha-an dengan nilai-nilai ke-Islam-an, tanpa merusak tradisi yang telah berjalan di masyarakat. Maka tidak heran bila kolenang gending gamelan masuk masjid, peringatan lahir dan kematian yang krangkanya berbasis budaya sedangkan isinya memuat nilai-nilai agama Islam.

Mengutip pendapatnya Azyumardi Azra dalam buku “Reposisi Hubungan Agama dan Negara” (2002: h. 116) yang mengklasifikasi Islam Politik dan Islam Kebudayaan. Di mana, Islam politik menghendaki formalisasi syariah Islamiah/Daulah Islamiah. Sedangkan Islam kebudayaan, memperjuangkan nilai-nilai Islam itu menjadi ruh atas semua tindak-tanduk masyarakat dalam berbangsa dan Negara. Maka, opsi yang ke dua ini lah sebenarnya, yang menurut saya patut untuk terus diperjuangkan dan dilestarikan dalam khazanah ke-Islam-an di Indonesia kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...