Sabtu, 04 Juni 2016

Konsep Hukum Sebagai Alat dan Sarana Bagi Masyarakat[1]

 Oleh: Alfin Law[2]

Dalam suatu meteri yang diperbincangkan tentang substansi hukum, tentu banyak pemahaman yang berbeda dalam mengartikan apa yang menjadi  isi sebenarnya dari hukum itu sendiri. Bahwa, sebagian pelaku hukum mengartikan hukum secara parsial semata, di mana hukum hanya dipandang sebagai hukum normatif saja yang menafikan dari sisi falsafah dan sosiologis. Sehingga hukum tersebut menjadi hukum yang memihak kepada mereka yang cenderung politis.  Secara faktual tidak bisa dipungkiri terdapat resistensi terhadap produk-produk hukum, sehingga keberlakuannya secara empiris tidak bekerja secara maksimal dan jelas bukan merupakan produk hukum yang baik.

Dalam sudut pandang falsafati, hukum jelas  dibuat untuk menciptakan dan memberikan keadilan bagi bangsa dan negara. Maka dari itu, apa yang telah terjadi di Indonesia sangat perlu kritik yang mendalam. Dalam  perkembangan hukum era kini tentu kiranya masih banyak praktik-praktik hukum yang carut-marut dengan dalih pembenaran, bukan demi kebenaran secara universal yang mengakibatkan citra hukum di Indonesia menjadi hukum induvidualistik, dan tak jarang juga dalam panggung hukum Indonesia terdapat ketidakadialan yang merampas hak-hak masyarakat yang notabene rakyak kecil yang terus termarjinalkan.

Terbukti bahwa, hukum positif yang berlaku di Indonesia memiliki sistem aturan yang sedemikian luas dan rumit. Di mana terdapat beberapa unsur aturan-aturan yang bertautan dengan aturan lain, saling mengisi dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, satu aturan tidak bisa dijadikan dalil penguat bila tidak disandingkan dengan aturan lain. Bahkan, hukum tersebut akan berubah dalam ranah jurisprudensi sebagai pertimbangan hakim dalam proses pemeriksaan.

Sebagaimana yang telah diinformasikan dari beberapa media tentang kasus hukum yang begitu kompleks, merupakan bukti yang menggambarkan masih sulitnya (secara relatif) keadilan bagi masyarakat banyak untuk dipenuhi oleh hukum Indonesia. Hal ini jelas, merupakan suatu permasalahan yang cukup serius dalam ruang pembangunan hukum Indonesia, yang sekaligus merupakan permasalahan dalam sistem hukum Indonesia yang mengadopsi civil law system sebagai sistem hukum warisan kolonial.

Indonesia pada hakikatnya disebut demikian karena secara fakta, eksistensinya kini makin dilupakan dan meninggalkan sistem hukumnya sendiri yang telah lama ada sebelum kolonial. Dengan transplantasi hukum, hadirnya Indonesia karena sistem hukum adat dengan karaktereristiknya yang khas. Persoalan-persoalan dalam pembangunan hukum Indonesia yang di antaranya, sebagai bagian dari persoalan sistem hukum hasil adopsi sivil law system. Inilah yang akan ditelaah dan dianalisis dalam ruang lingkup kemampuan hukum adat sebagai sistem hukum asli  (Indegenous Law System) Indonesia dalam menghadapi dan mengatasi probematika pembangunan hukum Indonesia.

Sepanjang sejarah, Indonesia pernah dijajah beberapa negara, antara lain, Belanda, Inggris dan Jepang. Negara-negara penjajah mempunyai kecenderungan untuk menanamkan nilai serta sistem hukumnya di wilayah jajahan. Sementara masyarakat yang terjajah juga mempunyai tata nilai dan hukum sendiri. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum agama dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda. Karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).

Disebut hukum agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syari’at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.

Maka dari itu, sebelum masa kolonealisme hadir, bumi Nusantara bukanlah wilayah sosiologis yang hampa hukum. Di berbagai wilayah di Nusantara ini  telah terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat yang teratur, yang dikelola oleh suatu sistem nilai yang bersifat tradisional dan dipercaya secara turun temurun.

Sebagaimana telah dijabarkan bahwa dalam civil law system menjadikan hukum yang sulit dihindari ketika suatu hukum telah dipositifkan dalam bentuk perundang-undangan, di mana hukum yang diadopsi oleh Indonesia ini masih terdapat pokok-pokok konsep yang masih memiliki problematika di dalamnya memicu munculnya masalah dalam ruang tata hukum Indonesia.

Oleh karena itu,  tidak selamanya memandang hukum secara normatif semata, melainkan juga harus mempertimbangkan dari sudut pandang filsafat serta dari sapek sosial. Yang kemudian, dalam teori hukum progresif menurut Prof. Satjipto Raharjo, S.H. menyatakan bahwa, proses perubahan atau perkembangan tidak lagi berpusat pada peraturan, tetapi pada kreatifitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat.

Para pelaku hukum yang dimaksud dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peratuaran buruk tidak menjadi penghalang bagi kita untuk menghadirkan keadilan bagi rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi baru setiap kali terhadap suatu peratuaran. Untuk itu, agar hukum dirasa manfaat maka perlu jasa ahli hukum yang kreatif menterjemahkan hukum dalam kepentingan sosial. Keberadaan masyarakat adat telah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk dan secara faktual telah mendapat pengakuan pada era pemerintah kolonial Belanda.

Berangkat dari konsep hukum progresif yang diteorikan oleh Prof. Satjipto Raharjo, S.H., nampaknya ada kesamaan dari konsep Gustav Radbruch, sebagai salah seorang legal scholar dari Jerman yang terkemuka. Mengemukakan tujuan hukum yang terdiri dari tiga hal: kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Pada awalnya, ia menyatakan bahwa tujuan kepastian menempati peringkat paling atas di antara tujuan yang lain. Namun setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktik-praktik yang tidak berprikemanusiaan selama masa perang dunia II.

Dengan jalan membuat hukum yang mengesahkan praktik-praktik kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa, keadilan merupakan tujuan hukum yang utama, karena hal ini sesuai dengan hakikat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwa, hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya. Sehingga pula dapat mempertahankan nilai-nilai  dan moral masyarakat sepanjang kita bisa  mengaktualisasi, serta kreatifitas akal budi dalam mengartikan dan melaksanakan hukum secara baik dan bijaksana.

Maka kemudian, telaah dari konsep tokoh di atas perlunya pembaharuan serta pengembangan hukum. Sementara ini, paling tidak ada beberapa proyeksi sebagai objek pembangunan hukum di antaranya adalah substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.

Substansi Hukum

Substansi hukum terwujud dari isi peraturan perundang-undangan serta subsistem undang-undang. Hal ini yang menjadi dasar terciptanya hukum positif yang dilakoni oleh para legislatif sebagai legislasi pembentukan undang-undang. Namun kiranya perlu telaah metodologi dari terbentuknya undang-undang tersebut, karena kerapkali terbentuknya undang-undang sebagai kepentingan politik. Karena tidak bisa dipungkiri terdapat otorisasi terhadap produk-produk hukum sehingga keberlakuannya secara empiris tidak bekerja secara maksimal dan jelas bukan merupakan produk hukum yang baik.

Oleh itu, perlunya keseimbangan antara politik dan hukum seperti yang dinyatakan oleh tokoh hukum Indonesia Mahfudz MD bahwa, politik merupakan determinasi hukum dan sebaliknya hukum merupakan determinasi politik. Jadi jelas, bila hukum hanya menjadi budak politik maka selamanya tidak ada pola-pola baru bagi kemanfaatan masyarakat.

Struktur Hukum

Struktur hukum merupakan bagian dari kelembagaan negara yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Terlebih tentang pelaksanaan sebagai eksekutif, pemerintah memiliki tugas implementatif dalam mempertahankan hukum sebagai mana mestinya: Das Sollen and Das Sain. Denga ini, perlu juga pemerintah melakukan tindakan preventif upaya tidak berulangnya sebuah tindakan yang melanggar hukum.

Terlepas dari lembaga ini, lembaga legislatif perlu kembali mempertimbangkan terhadap peristiwa, terlebih pula memprediksikan hukum yang belum ada tanpa harus ada peristiwa dulu kemudian merancang undang-undang. Seperti yang sering kali di beberapa media, para legislatif terkesan mendadak memproduk hukum setelah ada peristiwa. Dan berikutnya lembaga yudikatif sebagai lembaga Tuhan kedua dari Maha Adil.

Budaya Hukum

Budaya hukum merupakan perilaku yang berulang-ulang sehingga menjadi tradisi dan mewarisi. Sekalipun pembentukan hukum sudah baik, namun budaya hukum yang belum baik, justru akan merusak tata hidup sosial. Sebab itu, perlunya metodologi empiris sebagai kesinambungan antara isi hukum dengan beberapa kebiasaan masyarakat. Ini mengindikasikan bahwa Indonesia memiliki hukum kearifan lokal yang berada di berbagai seantero Nusantara.

Sebagai pertimbangan, sepadan dengan salah satu ahli hukum internasional Mochtar Kusumatmadja, yang mencetuskan teori hukum pembangunan (Law and. Development). Ajaran hukum ini pernah populer,  bahkan dikenal sebagai mazhab Hukum Unpad (Universitas Padjajaran). Hukum bukan sekedar alat semata, tetapi di luar itu juga harus dipandang sebagai sarana. Maka, diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang berbentuk tidak tertulis sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Kamis, 26 Mei 2016


[1] Disampaikan dalam diskusi lesehan sambil ngopi, Indonesia Belajar Institut (IBI), edisi Jumat, 3 Juni 2016, di Angkringan 57 Surabaya, jl. Jemursari Lebar, Wonocolo Surabaya
[2] Magister Hukum di Universitas Bhayangkara (UBHARA) Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...