Oleh: Marlaf Sucipto
Kita
tahu -utamanya umat Islam- bahwa sholat adalah perintah yang diturunkan langsung
oleh Allah kepada Nabi Muhammad tanpa perantara Malaikat Jibril sebagaimana
wahyu-wahyu yang lain. Hal ini tergambar jelas di dalam al-Quran surah ke-17,
al-Isro’ (1), Nabi Muhammad yang didampingi Malaikat Jibril menghadap langsung
kepada Allah, berangkat dari Masjidil Harôm
Mekkah, singgah di Masjidil Aqshô, Palestine, kemudian berlanjut dengan
perjalanan vertikal (mi’rôj) menghadap Allah di Sidratul Muntaha. Mayoritas ulama’ mufassirunmemaknai Sidratul Muntaha sebagai singgasana Allah. Malaikat Jibril yang
bertindak sebagai “ajudan” Nabi Muhammad sekali pun, hanya ngantar sampai di pintu Sidratul
Muntaha, karena, menurut mayoritas ulama’ mufassirun, hanya Nabi Muhammad yang sanggup menghadap dan
bercakap-cakap langsung dengan Allah, sedangkan selainnya, tak ada yang mampu,
termasuk nabi-nabi yang lain.
Sebelum
Nabi Muhammad menghadap Allah, menurut keterangan yang sama; mayoritas ulama’ mufassirun, beliau “dibersihkan” terlebih
dahulu oleh Malaikat Jibril, semacam transformasi massa tubuh dari benda ke
cahaya, sebagaimana tubuh Jibril yang terbuat dari cahaya. Beliau dilengkapi
kendaraan khusus yang dinamai Burrôq, mahluk dari alam malakut yang
terbuat dari cahaya,sedangkan kecepatan cahaya sekitar 300.000 per detik, andai
diminta untuk mengelilinya bumi, sudah memutar sampai tujuh kali putaran dalam
setiap detiknya. (Terpesona di Sidratul
Muntaha, Agus Mustofa, 2006: 15). Itu kemudian, perjalanan Nabi Muhammad
saat akan menerima perintah sholat cukup ditempuh dalam waktu yang sangat
singkat.
Tentang
sholat, di dalam al-Quran memang tak memerinci sebagaimana kini kita
mengenalnya dengan sebutan Dhuhur, ‘Asar, Maghrib, Isya’, Subuh, dan macam nama
sholat sunnah lainnya. Nama-nama sholat ini dijelaskan kemudian melalui
perangai langsung Nabi Muhammad yang saat beliau wafat dinamai hadits. Hadits
ini pun diperinci oleh hadirnya pendapat mayoritas ilmuan Islam yang disebut Ijma’, sedangkan Ijma’ masih ada lanjutannya yang disebut Qias.
Karena
sholat diteladankan langsung oleh Nabi Muhammad, maka daya tangkap orang dalam
melaksanakan sholat beragam. Semacam telah terjadi modivikasi ekspresi. Contoh:
saat takbirotul ihrom, ada orang yang
tangannya diangkat melampaui kepalanya, ada juga setinggi telinganya, ada pula
yang lurus dengan bahunya. Inilah yang saya maksud modivikasi ekspresi. Daya
tangkap orang saat menangkap ekspresi Nabi Muhammad sungguh beragam. Apakah
salah satu di antara mereka ada yang salah? Wallahu
A’lam; Allah yang lebih tahu. Yang salah menurut saya, jika saat Takbirotul Ihrom mengangkat tangan
sambil pegang tongsis untuk berfoto selvie.hehe
Bagaimana
dengan masjid?, apakah masjid adalah tempat hanya untuk sholat? Tidak! Masjid
itu adalah tempat bersujud sebagaimana makna kongkritnya dari bahasa Arab.
Mengingat dalam serangkaian sholat ada bagian bersujudnya, maka sejak nabi
menerima perintah sholat, masjid kemudian dijadikan sebagai salah satu tempat
untuk menegakkan sholat, utamanya sholat berjamaah.
Berkaitan
dengan tema tulisan ini, banyak orang berlomba-lomba membangun masjid,
mempermegah masjid, masjid dipenuhi oleh barbagai simbol kegemerlapan dunia,
seakan, saat kita berhasil membangun dan mempermegah masjid, kita telah
memiliki kendaraan menuju surga. Padahal, yang tak kalah penting adalah,
membangun dan mempermegah diri untuk semakin pandai bersujud kepada sang ilahi robby. Karena masjid secara
substansial adalah tempat di mana kita bersujud. Bisa di rumah, mall, atau
tanah lapang yang di atasnya tidak berdiri bangunan sekalipun.
Berlomba-lomba
membangun masjid secara fisik memang tidak salah, menjadi salah saat masjid
hanya megah dan kesadaran sholat berjamaah-nya rendah. Kesalahan semakin mantap
saat dana membangun masjid didapat dengan menjarah uang APBN dan APBD seperti
tabiat umum politisi Indonesia misalnya. Mereka jor-joran membantu pembangunan
masjid, tapi dana yang mereka sumbangkan adalah hasil jarahan. Dengan begitu
mereka merasa bersih dan semakin dekat dengan Tuhan. menjadi semakin lengkap
saat mereka jelas-jelas menganggarkan pembangunan masjid dari APBN, APBD,
maupun sumber lain, tapi kemudian dilakukan penyunatan anggaran. Politisi model
begini bararti sujud-nya kepada Allah belum mantap dan sholat-nya belum bisa
mencegah perbuatan keji dan mungkar sebagaimana telah dijelaskan al-Quran.
“Jika ada
orang melakukan ketidakbaikan, dan semakin menjadi-jadi ketidakbaikannya,
bararti sholat yang ditegakkanya masih eror”, (Komaruddin Hidayat).
Kemudian,
masih soal membangun masjid. Untuk mempermegah masjid, masyarakat di pedesaan
kerap membuka pos amal di jalan-jalan. Pos amal maksudnya, mereka memasang
plang di jalan, bahkan di tengah jalan mereka pasangi umbul-umbul supaya setiap
kendaran yang lewat bergerak pelan. Mereka berharap uang yang rata-rata receh
dari pengendara yang lewat sambil memohon-mohon supaya para pengendara berkenan
melemparkan uangnya kepada mereka. Apakah ini salah? Tidak!, Cuma menurut saya
tidak terhormat. Tidak terhormatnya di mana?, ya, membangun masjid dengan
meminta-minta. Padahal meminta, sebagaimana ajaran Islam, adalah tindakan yang
kalah baik ketimbang memberi. Hal itu pula, mengesankan bahwa orang Islam di
mana masjid itu akan dibangun, kondisinya miskin-miskin dan barangkali juga
pelit, sehingga tempat pribadatan bersama mereka sekalipun harus dibangun dari
hasil mengemis.
Yang Baik Bagaimana?
Pantang
bagi orang Islam untuk mengemis kerena miskin itu bukan semata persoalan harta
tapi pola pikir yang cenderung kemeruk atas harta. Apakah Nabi Muhammad kaya
raya dari sisi harta? Tidak! Apa juga Nabi Muhammad mengemis? Tidak!, bahkan
dalam sebuah riwayat, Nabi mengharamkan dirinya dan anak turunya meminta-minta
dan menerima pemberian orang secara cuma-cuma. Nabi sendiri meneladangkan
pantang mengemis. Kenapa kita ummat-nya malah bangga menjadi pengemis?! Dari
tingkat yang compang-camping sampai yang berbaju klimis. Sekali lagi, miskin
bukan semata soal harta beda, tapi sudah soal pola pikir dari masing-masing
orang itu sendiri.
Kembali ke
soal membangun masjid, karena masjid adalah kebutuhan bersama kita sebagai
tempat untuk menegakkah sholat secara berjamaah utamanya, maka, tema lanjutan
dari tulisan ini; membangun di masjid, penting untuk benar-benar diperhatikan.
Membangun di masjid maksudnya, mari kita jadikan masjid sebagai pusat
peradaban, pusat ilmu pengetahuan tanpa dikotomisasi antara pengetahuan umum
dan agama. Operasionalisasi dari segala program agenda yang akan dihelat di
masjid, mari mulai dari sumbangan suka rela kemudian kelolalah hasil sumbangan
tersebut berdasarkan prinsip-prinsip yang baik sebagaimana telah digariskan
agama. Pengelolaan tersebut harus professional dan jangan turut dikorup
sebagaimana tabiat umum orang Indonesia yang mengaku beragama Islam sekalipun.
Sumbangan suka rela itu sebagai bukti sederhana yang kongkrit bahwa kita umat
Islam memiliki kesadaran akan pentingnya syiar Islam yang perlu terus
digiangkan dari generasi ke generasi. Selain itu, barawal dari sumbangan suka
rela yang kemudian kudu dikembangakan secara baik itu, segala operasionalisasi
dari kebutuhan dan kepentingan dakwah, termasuk juga pembangunan-perawatan
masjid di dalamnya, cukup diambilkan dari dana bersama yang telah dikembangkan
tersebut. Dalam hal ini, bentuk pengembangannya sudah fenomenal dengan sebutan,
bank, pembiayaan, koperasi, dan unit usaha berbasis syariah.
Kenapa
saya mengajak agar peradaban itu dibangun dimulai dari masjid? Karena masjid
yang fungsi utamanya sebagai pusat sujud saat menegakkan sholat secara kolektif
adalah simbol sederhana sebagai pusat kebersamaan dan persatuan umat Islam dari
sekian perbedaan-perbedaan yang biasa terjadi pada setiap manusia.
Siapa Yang Akan Mengerakkan Dan Menyuarakan?
Ya, kita
kaula muda, kaum intelektual muslim harus menjadi pelopor utama akan Islam dan
syiar Islam secara baik dan terhormat, setalah lama kita mengalami stagnasi dan
terjebak dalam politik adu domba yang sengaja dihembuskan untuk memecah belah
sesama saudara se iman, sebangsa, dan se tanah air. Umat Islam menjadi tidak
produktif dan tak mampu berprestasi setelah mayoritas di antara kita tak mampu
memerangi hawa nafsu negatif yang sebagian lahir dari diri kita sendiri setelah
dipermantap oleh konstruksi struktural dari kelompok pemuja kapital sebagai
pemenang dari pertarungan ide kini.
Allahu A’lam
Ellak-Laok,
31 Januari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimaksih telah sudi berkomentar...