Kamis, 25 Februari 2016

Potret Hidup Masyarakat Jepang

(Cerita ringan 10 hari di Jepang)

Oleh: Ahmad Maskur[1]

Ahmad Maskur saat bermain permain tradisional Jepang
            Beberapa hari yang lalu, saya berkesempatan mengikuti program Japan East Asia Network Exchange for Students and Youths (Jenesys) di Jepang selama 10 hari. Terdapat beberapa pelajaran berharga selama mengikuti program tersebut. Baik dari  sisi pelaksanaan program maupun sisi-sisi lain yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat Jepang. Tulisan ini merupakan catatan ringan perjalanan 10 hari di Jepang.
             Perjalanan menuju Jepang ditempuh dalam waktu kurang lebih 10 jam menggunakan pesawat All Nippon Airways dari Bandar Udara Soekarno Hatta Jakarta. Saat tiba di Haneda Internasional Aiport Tokyo, setelah mengurus administrasi migrasi dan bagasi, seorang perempuan paruh baya dengan membawakan tulisan dada, “Jenesys from Indonesia” telah berdiri dan memanggil-manggil kami: “Indonesia, Indonesia, Jenesys from Indonesia” dengan tersenyum dan begitu ramah. Setelah kami berkenalan, ternyata perempuan tersebut merupakan panitia dari Japan International Cooperation Center (JICE), penyelenggara kegiatan yang ditugaskan menjemput rombongan kami. Dari sini kami mulai melihat masyarakat Jepang yang begitu telaten dan bertanggung jawab.

Tokyo Sky Tree tampak dari atas hotel di mana Ahmad Maskur tinggal
            Setelah dari bandara kami menuju Daichii Hotel Ryogoku Hotel, kemudian langsung dibawa mengelilingi kota metropolitan Tokyo untuk menikmati keindahan ibu kota Jepang menggunakan transportasi bus. Di dalam bus kami melihat langsung bagaimana masyarakat Jepang begitu tertib dan komitmen terhadap kebaikan. Di Jepang, masing-masing penumpang  saat menggunakan bus harus menggunakan sabuk pengaman, dan tidak boleh ada satu pun penumpang yang diperkenankan berdiri. Selain itu, setiap hendak turun, masyarakat Jepang tidak biasa meninggalkan sampah apapun di dalamnya.

            Perjalanan menggunakan bus begitu mengasyikkan. Cuacanya sejuk dan dingin, sepanjang jalan begitu bersih serta tidak ditemukan kemacetan, karena mayoritas masyarakat Jepang lebih memilih berjalan kaki dan bersepeda onthel dalam beraktifitas kesehariannya, baik pergi ke kantor dan lain sebagainya. Hanya sebagian yang menggunakan motor atau mobil. Sehingga sulit sekali ditemui kemacetan.

Makanan Khas Jepang
            Pada malam hari saat acara usai, sebelum tidur kami penasaran dengan masyarakat yang memilih berjalan kaki ketimbang naik motor atau mobil. Dalam benak, kami melahirkan tanya: apakah mereka tidak  capek?” Rasa penasaran itu membuat kami tertantang untuk mencobanya. Kemudian kami memutuskan untuk berjalan kaki menuju Tokyo Skytree. Sepanjang perjalanan tak satu pun kami temui Pedagang Kaki Lima (PKL) di jalanan, kota ini begitu damai dan jauh dari kebisingan. Lemari-lemari minuman banyak tersedia di pinggir jalan dengan sistem koin. Kita yang hendak membeli cukup memasukkan koin sesuai harga yang tertera, minuman yang dipilih pun keluar dan bisa kita nikmati.

Kesadaran masyarakat Jepang sudah begitu tinggi. Saat di pertengahan jalan kami begitu takjub dengan kebersihan dan ketertataan kota Tokyo. Saat itu teman kami yang dari Singapore berkata: “Aslinya lebih bersih Singapore ketimbang Jepang, hanya saja lebih maju Jepang dalam hal ini. Jepang bersih karena kesadaran masyarakat bukan karena aturan. Sedangkan Singapore bersih karena ada sanksi bagi yang membuang sampah sembarangan”.

Sampai di Tokyo Skytree kami begitu heran. Jarak kurang lebih 3 km yang ditempuh dengan jalan kaki tidak menyisakan capek dan nafas ngos-ngosan sama sekali. Berbeda sekali dengan Surabaya atau Jakarta. Rupanya udara dingin dan sejuk serta jauh dari polusi menghilangkan rasa capek. Dari sini kami paham mengapa masyarakat Tokyo mayoritas berjalan kaki dan ngonthel. Hal ini mungkin juga yang menyebabkan masyarakat Jepang sehat-sehat.

Menuju Nagasaki
Setelah beberapa hari di Tokyo, kami pindah ke kota Nagasaki. Perjalanan ditempuh 2 jam dengan pesawat Japanese Airlines melalui Haneda Airport. Selanjutnya kami menuju Hamakan Hotel dengan bus. Selama beberapa hari di kota Nagasaki kami lebih banyak program institucional visit. Seperti ke Museum Bom Atum, Kampus Nagasaki, NBC Nagasaki, pusat pembuatan makanan sushi dan lain sebagainya. Pemandangan di Nagasaki lebih alami. Gunung-gunung dan sungai-sungai  terdampar begitu indah. 

Sesaat setelah diskusi di Kota Tokyo
Pada saat di Nagasaki, kami juga ada program home stay di pedesaan-pedesaannya. Program ini semacam Kuliah Kerja Nyata (KKN). Peserta program dibagi dalam kelompok-kelompok kecil dan dititipkan di rumah warga. Tujuannya supaya memahami kehidupan sosial tradisional di Jepang. Sebelum program home stay dimulai, kami dikumpulkan di Osetomachi Communty Center. Perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam dengan menggunakan bus dari kota Nagasaki. Setelah sampai di sana kami diberi pembekalan oleh panitia dan diperkenalkan dengan host family masing-masing.

Kelompok kami kebagian di desa Saikai Shi dengan host family bernama Mrs. Tokuro Watanabe dan isterinya Mrs. Mika. Di rumahnya, Mr. Tokuro hanya tinggal berdua dengan isterinya karena kedua anaknya sedang menempuh studi di kota Nagasaki dan tinggal di sana. Sosok keduanya begitu bersahaja, harmonis dan sangat menyenangkan.

Jalanan di Nagasaki yang bersih dan asri
Setelah sampai di rumahnya, kami dipersilahkan masuk. Mr. Tokuro mengatakan bahwa seluruh ruang di rumahnya bisa ditempati dan segala alat yang ada boleh digunakan. Hanya ada satu kamar saja yang ia tidak ijinkan masuk karena itu kamar isterinya. Mr. Tokuro dan Mrs. Mika sangat ramah dan menghormati tamu. Ia menunjukkan dengan telaten satu-persatu kamar dan fasilitas yang ada. Ia menunjukkan cara menggunakan penghangat ruangan alami yang menggunakan api dan mempersilahkan untuk menikmati buah-buahan, makanan dan minuman yang ada.

Bersama genarasi Jepang setingkat TK
Sedari pertama bertemu di ruang pertemuan, Mr. Tokuro tampak begitu disegani oleh host family yang lain. Sehingga kami penasaran dengan latar belakangnya. Namun karena sudah malam dan waktu tidur, maka tidak mungkin kami mendiskusikannya malam itu. Esok harinya, barulah kami mulai banyak diskusi dengan Mr. Tokuro dan Mrs. Mika. Saat waktu sarapan tiba, kami dipanggil untuk menuju ruang makan. Sayur, buah, roti, ikan, mie  dan aneka minuman segar sudah tersedia.

Sarapan kali ini begitu nyaman dengan kondisi yang begitu akrab dan diskusi hangat dengan host family kami. Dari diskusi santai saat sarapan tersebut, kami mengetahui bahwa Mr. Tokura adalah seorang city council (DPR). Kami kaget saat mengetahui hal tersebut. Sosoknya yang begitu sederhana dan sangat ramah tersebut adalah anggota DPR. Berbeda sekali dengan kondisi di Indonesia. Tak ada DPR yang juga bertugas mengunci balai pertemuan, memetik sayur-sayuran untuk di masak isteri, dan ke pasar untuk kebutuhan rumah dan dapur. Namun Mr. Tokuro melakukan itu semua sendiri.

Ikhwal DPR, saya memberanikan diri tentang kedudukan DPR di mata masyarakat Jepang. Menurut penjelasan Mr. Tokuro, di Jepang, masyarakat lebih memberikan penghargaan dan pandangan mulya terhadap pegiat ilmu seperti peneliti, penemu, pengembang teknologi, dan lain sebagainya daripada jabatan politik. Kondisi ini tentu berbeda dengan Indonesia. Hal ini disebabkan karena kehidupan masyarakat Jepang sudah maju dan makmur. Kesenjangan ekonomi begitu rendah. Sehingga masyarakat Jepang lebih intens dalam bidang keilmuan.
Di Perumahan Warga Sai Kai Shy Nagasaki

Selama 3 hari di Saikai Shi, kami mendapat banyak sekali pengalaman. Desa di pegunungan ini begitu asri. Tanahnya terlampau subur sehingga beragam buah-buahan dan sayur-mayur tumbuh di sini. Selain itu, masyarakatnya begitu ramah-ramah. Tradisi saling menyapa dengan memberikan salam saat berpapasan di jalan masih lestari. Walaupun tempatnya jauh dari kota Tokyo, namun pemikiran masyarakat dan peradabannya begitu maju.

Kami begitu bahagia, berkesempatan mengunjungi Jepang. Banyak pelajaran hidup yang dapat diambil. Tentang kedisiplinan yang begitu ditekankan, kesadaran yang  sangat tinggi serta kepribadian baik lainnya. Selain itu, peserta program Jenesys yang merupakan perwakilan pemuda dan mahasiswa dari berbagai negara se-Asia dengan latar etnik, bahasa, budaya dan agama yang beragam, memberikan banyak pelajaran tentang urgensi persahabatan, kerukunan, dan kesatupaduan dalam ke-Bhinneka-an. Terimaksih Jepang atas pengalamannya. Semoga bermanfaat dan turut menginspirasi kami dan saudara sebangsa lain untuk meniru tentang peradaban Jepang yang luhur.

[1] Peserta program Jenesys 2015 perwakilan Indonesia.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimaksih telah sudi berkomentar...