Libasut Taqwa*
Paling awal, saya mohon maaf sebab setelah
beberapa waktu tulisan Bung Jauhar dipublis ke Facebook, saya baru
sempat memberikan sedikit tanggapan sekarang, bukan sebab saya menerima dan
sebegitunya turut mengamini apa yang disampaikan, namun lebih karena beberapa
hal, pertama; tugas kuliah saya yang “lumayan” membuat saya tersendat untuk
sekedar menggores tulisan. Jadilah tulisan ini di tengah-tengah penyelesaian
makalah perkuliahan saya tentang Islamic
Worldview dalam konsep Fazlur Rahman dan Sayyid Qutb.
Kedua, saya harus jujur. Saya menunda
berhari-hari menanggapi tulisan itu sebab saya menunggu terlebih dahulu
tanggapan dari senior, dan kawan-kawan di Indonesia Belajar Institut (IBI),
atau aktivis lainnya. Namun, setelah beberapa lama, ternyata mereka lengah,
atau mungkin memilih sibuk menimbrungi hal yang lebih “penting”. kalau memang
begitu, bagi saya tak masalah. Tapi biar sedikit saya beritahu; saya cukup
menyayangkan kepada teman-teman IBI lainnya mengapa tulisan itu tidak
ditanggapi dan hanya dibiarkan. Mohon maaf, anda sekalian mungkin lupa,
bagaimana peran media sosial sekarang begitu menggurita sehingga dengan sangat
mudah tulisan-tulisan seperti itu merongrong pola pikir kaula muda menjadi
sangat bebal, dan tidak berkarakter. Anda lupa, bagaimana sekarang, Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) semakin lama semakin “menyombongkan” diri dengan konsep cloud chucko land-nya. Mereka pun tidak
sadar, bagaimana sekarang, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia (PMII), atau bahkan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), sudah
tidak punya taring lagi di mata generasi karena selalu saja membiarkan
kampanye-kampanye tulisan semacam itu beredar luas, dan dibaca tanpa counter
yang arif dan berbobot. Santer kita dengar, orang bertanya, mana konsep tamaddun Islam HMI?, mana Konsep
Pergerakan PMII?, atau Tauhid sosial ala Amien
Rais bagi IMM?, pemuda HTI lebih punya konsep yang jelas (?), apakah hal-hal
itu belum juga membangunkan kita?, Saya menghargai sepenuhnya kesibukan saudara
sekalian, dan hak untuk tidak memberikan jawaban, baik lisan apalagi tulisan.
Tapi sebagaimana Edward W. Said, “tugas seorang intelektual” adalah memberikan
tanggapan dengan perspektif yang benar. Yang lurus, yang tidak melupakan akar
kesejarahan di bumi mana ia tinggal. Orang-orang seperti ini sulit sadar, bahwa
beberapa tahun ke depan (kalau kita biarkan kampanye tersebut), kita sulit
menemukan seorang lulusan Tekhnik menjadi seperti Bung Karno—Soekarno
(1901-1970), atau lulusan ekonomi seperti Bung Hatta—Mohammad Hatta (1902-1980).
Atau bahkan seorang santri seperti Wahid Hasyim (1914-1953). Camkan itu!!..
pembiaran kampanye-kampanye yang merongrong kedaulatan negara Indonesia yang
telah terwujud oleh konsepsi –tidak hanya by
Islamist- ini mendapat tempat yang layak di kampus-kampus umum. Oleh
sebabnya, kita memiliki tugas kesejarahan dan intelektualitas yang seharusnya
guna menjelaskan (jangan membiarkan!) duduk masalah Indonesia dengan perspektif
di Indonesia. Bukan Arab, bukan Afrika, apalagi Eropa!
Sekali lagi saya mohon maaf, saya memberi
kritik pada saudara sekalian sebab saya menaruh hormat demi menegaskan kembali
tugas masa depan kita.
Baik, untuk tidak berlama-lama, saya akan
mulai menuangkan tanggapan saya. Semestinya tanggapan lebih baik saya cantumkan
point by point saja. Namun karena
akan menjadi pemadatan kalimat, jadi saya sampaikan dalam bentuk narasi.
---------------------
Bung Jauhar betul, tulisannya bukan untuk
menanggapi atau memberikan bantahan terhadap dua tulisan saya dan Bung Marlaf.
Sebab ia hanya menyampaikan perspektif lain –yang juga tidak jelas- mengenai
duduk perkara tulisan-tulisan sebelumnya. Walaupun saya mengakui usahanya untuk
menyinggung beberapa point dalam tulisan, namun porsinya jauh lebih sedikit
dibanding kampanye “lagi-lagi” khilafah Islamiyah. Dan kita tahu, kampanye
berkesudahan dengan pembelaan naif konsep tersebut.
Yang patut anda catat, saya murni tidak
membenci HTI. Tidak ada alasan membenci sesama muslim yang rancak dalam
perjuangan menegakkan Islam. Saya punya teman HTI, ia baik, yang bahkan pernah
satu team dalam lomba tingkat
nasional. jadi tidak ada secuil pun
usaha saya untuk mengurusi hal-hal personal. Saya tidak ambil pusing apakah
anda tinggal di desa, kota, atau di planet manapun. Kalaupun kita tidak
bersepakat, maka itu sepenuhnya karena berlainan konsep dan pemikiran. Biarlah
orang menilai, konsep mana yang masuk akal dan bisa diterapkan atas dasar akal
sehat dan tidak apologetis. Dalam hal ini saya setuju dengan Yusril Ihza Mahendra, dalam pengantar buku Negara Sekuler; lawan berdebat, adalah Kawan
berpikir.
Bung Jauhar, Saya setuju Islam tidak hanya
mengajarkan Aqidah wa syariah, tetapi
juga menggelontorkan tsaqafah wal
Hadharah. Oleh sebab itu Islam
sudah sempurna, tidak perlu di sempurna-sempurnakan lagi.
Saya setuju bahwa begitu banyak gerakan
diberangus karena dianggap tidak masuk akal suatu saat akan diterima masyarakat
luas. term ini tentu berlaku general, bukan Khilafah saja, tapi ide
sekulerisasi Cak Nur—NurcholishMadjid
(1939-2005), Ide-ide para sufi kontroversial, bahkan ide Islam Liberal, diterima dan diadopsi
berjuta-juta manusia. Dalam tulisan itu, Bung Jauhar menulis:
“Pada awalnya ia (abad pencerahan, pen) ditandai dengan penyebaran ide-ide
baru. Ide yang secara heroik menentang rezim gereja yang dispotik itu. Lalu ia
menjadi arus baru yang ternyata mendapat dukungan massa dan mampu meruntuhkan
dominasi gereja dan sistem feodalisme. Ide baru itu ialah sekulerisme yang
dirintis oleh para filosof, ditulis dalam ribuan buku, didiskusikan dalam
lingkaran-lingkaran ilmuwan dan rakyat jelata meski di bawah bayang-bayang
kejamnya inkuisisi. Namun akhirnya ide ini menang dan Eropa menikmati tatanan
masyarakat baru yang hingga kini mereka bangga-banggakan itu. Jadi saya punya
cara berpikir yang berbeda, saya tidak memutuskan ketidaklayakan sebuah
pemikiran dari realita bahwa pemikiran itu yang menganutnya masih sedikit,
mendapat penentangan dan lain sebagainya. Jika pemikiran itu berseberangan
dengan status quo, namanya penentangan itu merupakan hal yang alamiah”
Logika berpikir seperti ini jika
dibenturkan dengan relitas ke-Indonesia-an, saya rasa tidak pantas. Mengapa, sebab
pendapat demikian juga berlaku bagi Indonesia, saya mencita-citakan konsep Dar al-Ahdi semacam Indonesia juga akan
berlaku sepenuhnya hingga –meminjam Syafi’i Ma’arif- sehari sebelum kiamat
menjadi wajar-wajar saja. Yang jadi masalah, konsep yang diajukan Bung Jauhar
tidak sama sekali melihat posisi umat selain Islam yang sama-sama membentuk Republik, dan
hanya melihat Indonesia ini dari kacamata Islam yang –kebetulan- mayoritas di
Indonesia. Negara Indonesia amat jauh berbeda lahirnya dengan situasi
negara-kota ala Nabi yang memang
perjuangan menempuh kemuliaan itu sepenuhnya andil Islam. Di Indonesia, Hindia
Belanda, Cita-cita merdeka itu lahir sebab kulit
kuning, kulit putih, menindas kulit coklat. Sehingga orang non-Islam juga sama-sama punya andil dalam proses
memerdekakan negara. Dalam tataran ini, bagi saya, konsep Dzimmi tidak bisa berlaku di Indonesia. Jadi, kita tidak bisa serampangan begitu saja membentuk negara
seluruhnya Islam dan melupakan andil mereka. Akan ditaruh mana “muka” kita
sebagai seorang muslim?
Selanjutnya, saya sepaham bahwa umat
Islam wajib mengangkat seorang pemimpin, namun saya berlainan jalan mengenai
bagaimana semestinya pemimpin itu diangkat dan diturunkan. Tidak ada statement tegas dari Nabi, bagaimana
seorang harus menjadi Khalifah (pengganti)-nya. Saya rasa anda juga tahu, bahwa
masalah pemimpin dalam Islam
menembus jalur Khilafiyah. Jadi,
mewajibkan Khilafah sebagai satu-satunya konsep yang “diridhoi” Allah, bagi
saya merupakan suatu pandangan yang keliru. Kita memang memerlukan Khalifah
sebagai pengganti nabi, dan saya tidak bermasalah dengan -sebagaimana anda
katakan “jika ada satu kelompok mengusung tema ini sebagai tujuan perjuangannya
maka itu juga bukanlah hal yang aneh“. Tapi sebagaimana anda tahu, setelah
nabi, sudah tidak ada otoritas tunggal, oleh karenanya juga berlaku bahwa kepemimpinan
sudah tidak bisa ditunggalkan hanya kepada satu orang manusia yang tidak ma’shum. Ini berarti, umat Islam berhak memilih dan menentukan bentuk dan
sistem negaranya sesuai nilai-nilai kontekstualitas Islam berdasarkan situasi
dan kondisi wilayah yang didiaminya. Dengan kata lain, sistem kekhalifahan
sebagai produk pasca nabi,
posisinya secara teori tidak lebih dari masalah ijtihad. Sebab tidak terdapat nash pasti sebagaimana pastinya masalah,
puasa, zakat, zina, dan lain-lain. Memang, dalam berabad-abad sejarah
Kekhilafahan Muslim, begitu banyak karya para Juris yang mengakui posisi
sentral Khalifah sebagai pemersatu umat sehingga dilekatkan predikat Syar’i sebagai ganjaran pentingnya
posisi ini. Namun, harus kita akui, bahwa teori sosial dan politik senantiasa
berubah sepanjang sejarah mengikuti konteks ruang dan waktu. Terlebih lagi,
apabila kita jeli menganalisa bentuk perubahan pemikiran para Juris, maka akan
kita temui khususnya bahwa terjadi perubahan teori kepemimpinan yang terjadi
sebelum jatuhnya Abbasiyah dengan memusatkan teori mereka pada masalah
Khilafah-Imamah menjadi masalah Kekhilafahan kepada posisi sentral syariah
sebagai pemersatu umat pasca Baghdad hancur oleh Mongol.[1]
Saya sangat kesulitan –karena tidak
ada paparan jelas- memahami seluruh dunia (umat muslim) menyerahkan urusan
pemerintahannya dalam satu kepemimpinan tunggal tanpa melihat realitas
geografis, etnografis, bahkan etnisitas suatu bangsa yang multi-varian dan
beragam satu sama lain. Logika berpikir seperti ini sungguh sangat
mengkhawatirkan. Kita dapat meyakini Islam mampu bersatu dalam aqidah dan
syariah, tapi selain itu, umat Islam bermetamorfosis sesuai konteks ruang hidup
di mana ia tinggal. Ini berbeda tentu saja jika anda memahami Khilafah
Islamiyah sebagai keyakinan mutlak tanpa tedeng
aling-aling. Perasaan serba mutlak inilah yang saya kira, bagi kaum muslim,
hanyalah mempertinggi tempat jatuh.
--------------------------------
Dalam pemberlakuan Syariah Islam di
Indonesia, suatu hal yang selalu anda sandingkan dengan konsep Kekhilafahan
versi HTI, saya ingin menyampaikan klarifikasi. Sebagaimana juga pernah
dinyatakan Said Aqiel Siradj, juga Masyumi dahulu, tidak ada kelompok Islam
mayoritas yang menolak mutlak pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia. Mereka meyakini, proses
pemberlakuannya mesti secara perlahan dan sesuai prosedur yang ada di
Indonesia. Ini tidak lain, Semata untuk menghindari perang saudara sebagaimana
pemaksaan banyak ide dan konsep di Timur Tengah dan Afrika. Hal ini juga
diamini oleh Muslim Abdurrahman yang setuju pemberlakuan Syariat Islam di
Indonesia, asalkan model perjuangannya sebagaimana konsepsi Masyumi dan dalam
tataran ide dirumuskan oleh Yusril Ihza Mahendra yang mengingatkan konteks
Indonesia memang sangat berbeda. Jadi apabila ada statement anda yang meyakini Syariat Islam digaungkan oleh
masyarakat secara umum dan luas dengan memberikan ilustrasi Pidato Soekarno di
Amuntai, saya tidak akan membantah. Tetapi hanya sampai di situ, tidak lebih.
Sebab tidak ada satu pun tokoh Indonesia masa awal yang mengutarakan ide-ide
sebagaimana argumentasi Khilafah versi HTI sekarang.
Dalam hal ini, menarik melihat
tanggapan Bung Jauhar mengenai ide Khilafah di masa sebelum Indonesia merdeka.
Ia menulis:
Secara historis, di Nusantara ide
Khilafah/Negara Islam sendiri bukanlah ide yang
ahistoris. Ia menjadi perbincangan dan perhatian yang menyelimuti pikiran tokoh
pergerakan kemerdekaan. Misalnya Konggres Al Islam tahun 1924 yang diprakarsai
oleh Syarikat Islam dan Muhammadiyah sebagai respon terhadap dihapuskannya
Khilafah Utsmani. Kongres yang diketuai oleh Haji Agus Salim itu dibuat untuk
turut menyelesaikan persoalan Khilafah yang menyangkut kepentingan seluruh umat
Islam.
Dalam Ajahku, Prof HAMKA—Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981), menceritakan
bagaimana ketika Syaikh Abdul Karim, ayahnya, menghadiri Kongres Khilafah di
Mesir mewakili utusan dari Sumatera. Akan tetapi setelah menghadiri Kongres
tersebut, ia menunjukkan kekecewaannya sebab tidak lain Kongres itu hanyalah
suatu ajang “pamer” keunggulan peradaban ulama Islam Timur Tengah[2]
yang terlihat dari upaya perebutan posisi Khilafah antara Syarif Husein
(penguasa Hijaz) dan Raja Fuad (penguasa Mesir) ditambah raja Abd al-Aziz Ibn
Saud yang berhasrat menguasai Hijaz. Untuk itulah maka kedua kongres yang pada
akhirnya dilaksanakan pada 1926 –setelah mengalami penundaan- di Mesir dan
Saudi itu tidak lain merupakan akomodasi real
dari political game perebutan
simpati Raja Fuad dan Syarif Husein. Kedua kongres berakhir kurang sukses karena
tidak berhasil mencapai kesepakatan. Seperti dijelaskan Hamka, kongres Kairo
gagal karena tidak ada pemimpin politik yang menghadirinya. Satu-satunya
politikus yang hadir di kongres itu adalah ‘Abd al-Aziz al-Shalabi, buangan
politik dari Tunisia. Kongres Hijaz, di lain pihak, juga gagal karena penguasa
barunya lebih tertarik pada status Hijaz daripada isu khilafah.[3]
Jadi, sementara kongres Hijaz gagal karena kekurangan dukungan dari tuan rumah,
kongres Kairo gagal karena kekurangan dukungan politik. Melihat realitas ini,
tentu dapat kita nyatakan bahwa sebenarnya isu Khilafah tidaklah mendapat
posisi sentral dalam perjuangan politik Umat Islam di Indonesia, terlebih lagi di wilayah
Timur Tengah.
------------
Mengamini setengah hati, dibagian
akhir tulisannya Bung Jauhar tegas menulis tentang NKRI,
“Saya setuju bahwa Negara Kesatuan adalah keharusan yang tidak
bisa ditawar, NKRI harga mati dalam konteks kesatuan wilayah teritorial harus
kita dukung karena syariah Islam mengharamkan disintegrasi. Saya setuju bahwa
Negara Kesatuan adalah upaya final, karena negara federal bertentangan dengan
Islam. Namun, jika yang dimaksud final itu adalah konsitusi atau sistem
pemerintahan, kenyataannya hingga kini tidak pernah final, selalu berubah-ubah
dan dinamis bergantung aspirasi rakyat.”
Bagi saya, Statement Bung
Jauhar terlalu memaknai federal secara sederhana, bagaimana mungkin menyatakan
negara federal tidak sesuai dengan Islam?[4]
untuk anda ketahui, bahwa perjalanan paling akhir Kekhilafahan Utsmani adalah
salah satu representasi federasi dalam sistem pemerintahan, Kekhalifahan
memberikan keleluasaan kepada kerajaan-kerajaan kecil untuk menjalankan sistem
pemerintahan sendiri. Dalam praktek itu kita melihat akhirnya Mesir, Yaman,
Saudi, berakhir dengan merdeka dan mengamini federalisme sempit sehingga
berpisah dari Turki Utsmani. Anda harus ingat, otonomi adalah salah satu minimalisasi
konsep federasi yang sebenarnya dianggap paling baik untuk kembali diterapkan
di masa-masa reformasi, tapi terjadi upaya penyelamatan wilayah yang
berkonflik, sehingga kita hanya sampai pada gagasan otonomi daerah (baca statement Syaf’i Ma’arif dalam Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan
Kemanusiaan;)
Sebenarnya dari pernyataan itu anda terlihat setuju saja dengan
NKRI sebagai upaya final konsolidasi ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an dalam konteks kita. Tetapi ketika memainkan
kontekstualisasi nilai-nilai tertulis, gagasan anda rapuh. para founding People dan penerusnya setelah itu, bahkan Soekarno telah
mengakui bahwa “Piagam Jakarta” sebagai representasi nilai Islam yang menjiwai
konstitusi dan Pancasila kita. Masalah banyak sekali regulasi sekarang yang
menurut anda mengekor Kapitalisme dan neo kolonialisme, saya rasa itu masalah
krisis moral kita di negeri ini. Bukan masalah konsep kenegaraan dan
pemerintahan yang harus segera diubah secara prinsipil dan mendasar. Anda juga
terlihat tidak konsisten. Mana yang ingin anda rubah, bentuk teritorial wilayah
NKRI, atau kandungan undang-undang dan konstitusi? Tentu anda paham ini adalah
dua hal yang berbeda. Dalam konteks HTI, setahu saya semuanya harus dirubah,
model ketatanegaraannya dirubah menjadi sistem wilayah Internasional dan
pemimpinnya satu orang dari seluruh bangsa-bangsa yang besar.[5]
Juga tentu undang-undang dan konstitusinya. Saya pastikan gagasan anda akan
terbantah bahkan oleh kawan anda sendiri.
Yang terakhir saya kira, mempelajari perjalanan sejarah Indonesia
sebagai tempat bersemainya perjuangan tanah kelahiran menjadi suatu keniscayaan
bagi siapapun yang ingin memahami dengan baik jatuh-bangunnya Bangsa ini ke
depan. Indonesia, memang berbeda secara diametral dengan Timur Tengah atau wilayah
lainnya dilihat dari berbagai macam hal. Dan itu semata bersifat alamiah tanpa
dibuat-buat. Kedua, yang harus kita camkan di bagian lobus temporalis otak kita, bahwa ketika Turki Utsmani sebagai
Kekhalifahan hancur oleh tangan-tangan “imperialis”, seluruh wilayah,
kesultanan, dan kerajaan-kerajaan kecil yang berada dalam naungannya berpisah
membentuk negara masing-masing dan merdeka satu sama lain khususnya di Timur
Tengah. Ini tentu berbeda dengan Indonesia, karena setelah Utsmani Runtuh, dan
Penjajah di-tendang bokongnya, semua wilayah kerajaan Islam bahkan
non-Islam di negeri-negeri besar mulai Sumatera, sampai ke Timur Papua,
menyatakan bersatu membentuk satu kesatuan wilayah besar dengan wilayah kepulauan terbesar di dunia.
Akhirnya, melalui konsensus pelik dan menguras keringat, para ulama’
dan umara’ sepakat memberinya nama Indonesia. Tentu kita mengerti,
Indonesia merupakan wilayah terbesar ke-14 di dunia yang mengangkat satu pemimpin tunggal. Negara yang tidak
memaksa semua wilayahnya memberikan bentuk formal penegakkan Syariat Islam,
juga tidak melarang apabila ada yang ingin mematok formalitas Syariat seperti
Aceh dan beberapa wilayah lain. Negara yang tidak melarang lebih dari enam
agama beribadah menurut style-nya
masing-masing. Wilayah yang apabila ada konflik, cukup ‘hanya’ Kyai kampung
turun tangan, dan masalah itu pun selesailah. Bagi saya, inilah bentuk
Kekhalifahan modern itu, yang anda sekalian tunggu-tunggu, yang CIA ramalkan,
dan majalah-majalah terawang-kan. Jadi, tidak perlu anda sekalian
gaung-gaungkan lagi. Mendakwahkan Khilafah di Indonesia bagi saya ibarat
melukis di atas air, karena anda sekalian berada di medan yang keliru. Tugas HT
sekarang adalah mendakwahkan Khilafah di luar Indonesia, kepada ‘alim Ulama’
Timur Tengah (saya yakin masih banyak kalangan Timur Tengah yang bahkan tidak
tahu seperti apa Indonesia) termasuk Amerika dan benua-benua lainnya. tafadhol ya Akhi, singsingkan lengan bajumu, angkat kopermu, boyong keluarga-keluargamu, ajak
rombongan Khilafahmu, lalu berjihad-lah di jalan Allah dengan mengabarkan ke
seantero jagad -kecuali di Indonesia-
bahwa di wilayah Asia Tenggara sana, ada Kekhilafahan yang berdiri kokoh dengan
sangat luas, yang damai, yang bervariasi kebudayaan dan bahasanya, yang
merupakan gabungan dari kerajaan-kerajaan Islam dan non-Islam, yang pernah
diakui dengan gerakan non-blok-nya, yang walaupun tidak semuanya mampu
berbahasa Arab, tapi memiliki pengakuan Ulama bahkan oleh wilayah mbah-nya Islam. Dan saya yakinkan anda, ahl al-Khilafah, oleh karenanya
berdakwahlah kepada ‘alim ulama’ Wahhabi di Saudi, ke Mufti-mutfi
Al-Azhar di Mesir, ke Council-council Islam
di Barat. monggo ya Syaikh, mari
bergabung dengan Indonesia dan menundukkan diri dengan penuh seluruh, Khilafah
Islam dalam bahasa Lokal.!
[1] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam
dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; sebuah refleksi sejarah
[2] Untuk lebih jelas mengenai perkara ini, dalam bahasa Indonesia dapat
dibaca buku “Ajahku” karya Prof. HAMKA. Di dalam buku itu, hal-128, HAMKA
menulis keterangan Ayahnya mengenai penyelenggaraan Kongres di Mesir yang
mengecewakan.
[3] Pada tahun kongres itu diselenggarakan, ‘Abd al-‘Aziz diproklamasikan
sebagai Raja Najd dan Hijaz. Dia dengan sengaja memakai istilah malik (raja),
bukan khalifah. Lihat Luthfi
As-Syaukani, Ideologi Islam dan Utopia..
[4] Saya berharap dengan kukuhnya anda membela HT, anda tidak lupa membaca
dan mempelajari federasi dalam sistem pemerintahan secara lebih dalam. Salah
satu yang paling menarik saya kira adalah buku mengapa Indonesia harus menjadi negara Federasi, oleh Nazaruddin
Syamsuddin.
[5] Saya tidak habis pikir, apakah teman-teman muslim kita di Afrika, di
Papua, Indonesia Timur mau dipimpin misal oleh orang Arab, orang Persia, atau
orang Somalia setelah kepemimpinannya tunggal. Tentu akan terjadi kekacauan
akut yang melanda, perang dimana-mana sebab memperebutkan siapa pemimpin yang
pantas; dari ras, mana, bangsa mana, dan wilayah mana? Mungkin dengan naif HTI
akan menjawab: mereka disatukan Islam. Islam yang mana? Kembali kepada
al-Qur’an Hadits. Mereka lupa bahwa pengamalan itu semua dilakukan manusia. Dan
hampir semua sepakat, sosok manusia paripurna yang diidam-idamkan baik secara
akidah, maupun dalam urusan kemasyarakatan belum juga kita temukan. Betapa
banyak ‘alim di Timur Tengah, tapi begitu menggelora perang saudara tanpa
henti? Di masa sekarang, kita harus jantan mengakui, legitimasi politik amat
sulit disamakan dengan memperoleh legitimasi keagamaan. Dan itu berlaku hampir
di seluruh wilayah dunia Islam.
Sepakat dgn statement-nya mas awan.
BalasHapus